Wasantara sebagai Wawasan Kewilayahan
Sebagai faktor eksistensi suatu negara wilayah nasional perlu ditentukan batas-batasnya agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Oleh karena itu pada umumnya batas-batas wilayah suatu negara dirumuskan dalam konstitusi negara (baik tertulis maupun tidak tertulis).
Meskipun wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, namun dalam UUD’45 tidak memuat secara jelas ketentuan wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya menyebut wilayah/daerah yaitu:
- Pada Pembukaan UUD’45, alinea IV disebutkan “…..seluruh tumpah darah Indonesia…..”
- Pasal 18, UUD’45 : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ……………”
Wasantara sebagai Wawasan Kewilayahan
Yang disepakati sebagai wilayah negara Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda. Namun demikian dalam rancangan UUD maupun dalam keputusan PPKI tentang UUD 1945, ketentuan tentang mana wilayah negara Indonesia itu tidak dicantumkan.
Hal ini dijelaskan oleh ketua PPKI—Ir.
Sukarno—bahwa : dalam UUD yang modern, daerah (= wilayah) tidak perlu masuk
dalam UUD (Setneg RI, tt : 347). Berdasarkan penjelasan dari Ketua PPKI
tersebut, jelaslah bahwa wilayah atau tanah air atau tumpah darah Indonesia
meliputi batas bekas Wilayah Hindia Belanda.
Untuk menjamin pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan nasional dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah. Ketegasan batas wilayah tidak saja untuk mempertahankan wilayah tetapi juga untuk menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional.
Wujud geomorfologi Indonesia berdasarkan Pancasila (dalam arti persatuan dan
kesatuan) menuntut suatu konsep kewilayahan yang memandang daratan/pulau, lautan
serta udara angkasa diatasnya, sebagai satu kesatuan wilayah. Dari dasar inilah
laut bukan lagi sebagai alat pemisah wilayah.
Dalam menentukan batas wilayah negara, Pemerintah RI
mengacu pada Aturan peralihan UUD-45, pasal II “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang dasar ini” yang memberlakukan undang-undang sebelumnya.
Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan
wilayah dan termuat dalam Ordomantie tahun 1939 yang diundangkan pada 26
Agustus 1939 yang dimuat dalam Staatblad No. 422 tahun 1939, tentang
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie”.
Berdasarkan ketentuan ordonansi ini, penentuan lebar laut wilayah sepanjang 3 mil laut dengan cara penarikan garis pangkal berdasar garis air pasang surut, yang dikenal pula mengikuti contour pulau/darat.
Ketentuan demikian itu mempunyai konsekuensi bahwa secara hipotetis setiap pulau yang merupakan bagian wilayah negara Republik Indonesia mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Sedangkan disisi luar atau sisi laut (outer limits) dari tiap-tiap laut teritorial dijumpai laut bebas.
Jarak antara satu pulau dengan
pulau lain yang menjadi bagian wilayah negara Republik Indonesia “dipisahkan”
oleh adanya kantong-kantong laut yang berstatus sebagai laut bebas yang berada
diluar yuridiksi nasional kita. Dengan demikian dalam kantong-kantong laut
nasional tidak berlaku hukum nasional.
Berdasar itulah pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan
pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang wilayah perairan Negara
Republik Indonesia yang dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”—Ir. Juanda pada
periode itu sebagai Perdana Menteri Republik Indo-nesia—yang pada hakekatnya
melakukan perubahan terhadap ketentuan ordonansi pada lembaran negara
(staatblad) no. 422 tahun 1939.
Wasantara sebagai Wawasan Kewilayahan
0 komentar :
Posting Komentar